Minggu, 26 September 2010

Dari sampah menjadi energi listrik

BAGI negara-negara yang telah maju, termasuk negara berkembang dengan penduduknya padat, sampah merupakan masalah yang cukup pelik. Berbagai upaya dilakukan untuk memecahkan cara penanganan sampah. Di antaranya dengan sistem open dumping (dibiarkan ditumpuk) atau sanitary landfill (ditimbun tanah).
Namun dengan sistem ini tetap saja menimbulkan masalah baru. Baik open dumping maupun sanitary landfill kelemahannya adalah volume sampah yang semakin menggunung. Polusi udara dari bau yang menyengat menganggu penduduk sekitarnya, produksi gas methan yang membahayakan, pencemaran udara dan air, bahkan ancaman bahaya longsor karena tumpukan sampah juga masalah baru. Kini lahirlah ide bahwa sampah sebenarnya dapat dimanfaatkan. Selain dihancurkan, juga akan menimbulkan sumber energi baru.
Sistem ini adalah membuat solusi bahwa sampah bisa jadi sumber energi listrik atau Watse to Energy atau yang lebih dikenal dengan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). Di beberapa negara, pembuatan PLTSa ini sudah lama dilakukan, sebut saja di Republik Rakyat Cina (RRC) dan Singapura. Dengan PLTSa ini, selain berfungsi sebagai Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), juga sampah ini diolah dan volumenya diperkecil dengan teknologi modern, juga bisa menjadikan sumber energi listrik. Sebab selain dapat menguntungkan karena bisa menjadi sumber energi, juga bisa memperkecil volume sampah dan juga teknik yang ramah lingkungan dibanding cara penanganan sampah konvensional selama ini dengan menggunakan open dumping dan sanitary landfill.

Jika telah terwujud, PLTSa yang berfungsi sebagai TPA ini nantinya akan memakai teknologi tinggi. Sampah-sampah yang datang akan diolah dengan cara dibakar pada temperatur tinggi 850 hingga 900 derajat Celicius. Berdasarkan perhitungan, dari 500 - 700 ton sampah atau 2.000 -3.000 m3 sampah per hari akan menghasilkan listrik dengan kekuatan 7 Megawatt.
Dari pembakaran itu, selain menghasilkan energi listrik, juga memperkecil volume sampah kiriman. Jika telah dibakar dengan temperatur tinggi tadi, sisa pembakaran akan menjadi abu dan arang dan volumenya 5% dari jumlah sampah sebelumnya. Abu sisa pembakaran pun bisa dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan batu bata.
PLTSa dengan bahan bakar sampah merupakan salah satu pilihan strategis dalam menanggulangi masalah penanganan sampah , selain berpotensi mengurangi volume sampah secara lebih efektif, juga bisa menghasilkan energi listrik. Listrik ini akan membantu atau meringankan beban PLN dalam penyediaan listrik bagi masyarakat.
Studi Amdal
Pembangunan bangunan PLTSa ini direncanakan akan ditanami pohon di sekeliling bangunan sehingga membentuk green belt (sabuk hijau). Bangunan PLTSa berikut sarana bangunan pendukungnya akan memakan lahan sekitar 3 Ha, sedangkan sabuk hijau akan memakan areal 7 Ha.
Pada saat sampah yang datang dibakar dengan temperatur yang tinggi, akan melahirkan energi panas yang dihasilkan oleh pembakaran tadi. Energi panas ini akan digunakan untuk memanaskan air hingga menjadi uap. Uap inilah kemudian tenaganya akan dipakai memutar turbin pembangkit listrik. Hasilnya, PLTSa akan menghasilkan 7 Megawatt (MW) per hari.
Warga sekitar bangunan PLTSa pun tidak usah khawatir tentang kedatangan sampah. Sebab sampah yang datang pertama-tama akan diturunkan kadar airnya dengan jalan ditiriskan dalam bunker selama 5 hari. Setelah kadar air berkurang tinggal 45%, sampah akan dimasukan ke dalam tungku pembakaran, kemudian dibakar.
Sisa pembakaran abu dan debu terbang sebesar 20% dari berat semula akan diuji kandungannya apakah mengandung Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) atau tidak, di laboratorium. Jika tidak mengandung B3, dapat dijadikan sebagai bahan baku bangunan seperti batako. Namun jika mengandung B3, akan diproses dengan teknologi tertentu sesuai ketentuan yang berlaku. Untuk menampung abu ini, di lokasi PLTSa akan dibuat penampungan abu dengan kapasitas 1.400 M3, yang mampu menampung abu selama 14 hari beroperasi.
Sedangkan sisa gas buang akan diproses melalui pengolahan yang terdiri dari :
  1. Gas buang hasil pembakaran akan dilakukan pada squenching chamber. Dari sini gas buang disemprot dengan air untuk menurunkan temperatur gas dengan cepat guna mencegah dioxin terbentuk kembali dan menangkap zat pencemar udara yang larut dalam air seperti NOx, SOx, HCL, abu, debu, dan partikulat.
  2. Kemudian gas yang akan dilakukan pada reaktor akan ditambahkan CaO sebanyak 12 kg/ton sampah. Tujuannya menghilangkan gas-gas asam, SOx< HCL, H2S, VOC, HAP, debu dan partikulat.
  3. Pada saat gas keluar dari reaktor, pada gas akan disemburkan karbon aktif sebanyak 1 kg/ton sampah, bertujuan menyerap uap merkuri, dioksin, CO.
  4. Kemudian gas akan dialirkan ke Bag Filler dengan tujuan menyaring partikel PM10 dan PM 2,5.
  5. Terakhir, gas buang akan dilepaskan ke udara melalui cerobong dengan ketinggian sekitar 70 meter.
Pada kegiatan penirisan sampah akan menghasilkan lindi dan bau. Lindi akan ditampung kemudian diolah sampai pada tingkat tertentu. PDAM akan membangun saluran air buangan dari PLTSa dan membangun fasilitas pengolahan limbah PLTSa. Sedangkan bau yang ditimbulkan berada dalam bunker bertekanan negatif sehingga tidak akan keluar tetapi tersedot dalam tungku pembakaran sehingga tidak menimbulkan bau sampah di luar bangunan.
Tahapan Kegiatan

Tahapan pertama adalah penyiapan lahan 10 ha. Lahan tersebut dibeli dari para petani atau pemilik sawah/lahan. Selanjutnya, mobilisasi tenaga kerja untuk membangun PLTsa, mobilisasi peralatan berat, konstruksi, pembersihan lahan, penyiapan lahan, pemasangan fondasi, mobilisasi bahan bangunan, mobilisasi peralatan PLTSa, instalasi PLTSa, dan pelepasan tenaga kerja kontruksi.
Setelah tahapan dilakukan, PLTSa akan diuji coba dahulu sebelum benar-benar layak dioperasikan. Sampah-sampah segera didatangkan oleh PD Kebersihan kemudian diturunkan ke bunker berkapasitas 10.000 m3, yang cukup untuk menyimpan sampah 5 hari. Sampah tersebut akan ditiriskan selama 3-5 hari. 

Keterkaitan Energi dan Kelestarian Lingkungan Hidup

T idak bisa disanggah lagi kalau di era kini, segala aktivitas yang dilakukan masyarakat modern sangat ketergantungan kepada ketersediaan energi. Hampir di semua sector kegiatan, energi menjadi kebutuhan pokok yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, kemajuan suatu negara akan sangat terkait dengan kecukupan ketersediaan energi di negara tersebut. Sebut saja negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, dan negara-negara Eropa lainnya, bahkan Korea. Ketersediaan energi di negara-negara tersebut sangat memadai untuk melakukan kegiatan di berbagai bidang yang bisa diandalkan untuk pembangunan bangsa dan negaranya. Namun dalam pengadaan energi tentu saja harus memperhatikan factor kelestarian lingkungan hidup. Karena lingkungan tempat mahluk hidup ini bernaung tidak kalah pentingnya dari kebutuhan kebutuhan hidup lainnya. Merusak lingkungan hidup, sama saja dengan mencelakakan diri sendiri. Lingkungan hidup suatu negara akan sangat berkaitan dengan negara lain, karena kita tinggal di bumi yang sama. Sebab itu pula setiap negara sangat berkewajiban untuk sungguh-sungguh memperhatikan dan mencegah hal-hal yang bisa menjadi penyebab kerusakan lingkungan hidup.
Dampak kerusakan lingkungan hidup seperti pemanasan global, saat kini sudah mulai dirasakan di berbagai belahan bumi ini. Seperti terjadinya peningkatan suhu udara, permukaan air laut naik, yang bisa menenggelamkan pulau-pulau kecil, dan daratan di sekitar pantai, terjadinya perubahan iklim, yang kini sudah terjadi di beberapa tempat termasuk di negeri ini. Kesemua itu karena lingkungan tempat manusia dan mahluk hidup lainnya sudah tercemar. Bahkan menurut sumber-sumber yang bisa dipercaya, keganasan topan yang akhir-akhir ini suka melanda salah satu bagian di daratan Amerika, diprediksi oleh para ahli sebagai efek dari pemanasan global. Ancaman lain yang tidak kalah bahayanya bagi kehidupan manusia, adalah terjadinya hujan asam.
Di Indonesia sendiri, memasuki tahun 2006 telah terjadi angin badai di beberapa perairan yang mengakibatkan banjir di daerah sekitar pantai hingga berhari-hari. Akibatnya para nelayan tidak bisa turun ke laut untuk mencari ikan, sehingga mereka mengalami masa-masa paceklik. Belum lagi lebatnya curah hujan mengakibatkan banjir dan tanah longsor di beberapa daerah. Kejadian-kejadian ini tentu masih punya kaitan dengan pemanasan global akibat kerusakan lingkungan. Kalau penyebab-penyebab kerusakan global ini tidak ditanggulangi untuk ditekan sekecil mungkin, tentu kerusakan lingkungan yang sudah terjadi ini akan semakin parah yang akibatnya juga akan merugikan semua mahluk hidup termasuk kita.
Penyumbang terbesar kerusakan lingkungan hidup secara menyeluruh, adalah polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, seperti batubara, bahan bakar minyak, dan gas alam secara besar-besaran. Dari pembakaran itu berakibat terjadinya emisi rumah kaca sebagai penyebab pemanasan global.
Masalah lingkungan hidup memang bukan persoalan salah satu negara saja, tetapi sudah menjadi tanggung jawab seluruh bangsa dan negara. Oleh karena itulah berbagai upaya dilakukan orang untuk mencegah tambah rusaknya lingkungan hidup. Seperti dengan diselenggarakannya KTT Bumi, Protocol Kiyoto, dan lain sebagainya. Bahkan beberapa negara yang masih memanfaatkan bahan bakar fosil, berusaha mengurangi efek rumah kaca dengan menggunakan bahan bakar gas alam yang secara ekonomis sangat kompetitif bila dibandingkan dengan penggunaan minyak bumi atau batubara. Hanya sebenarnya gas alam juga tetap menimbulkan CO2, tetapi lebih sedikit bila dibandingkan dengan penggunaan minyak bumi dan batubara. Di samping itu pun gas alam juga menimbulkan methan selama proses penyediaannya, yang kesemua itu dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Meski akhir-akhir ini muncul teori lain tentang efek rumah kaca, seperti menurut periset Amerika mengatakan bahwa variable aktivitas Mataharilah yang bepengaruh pada naik turunya suhub global. Namun mengurangi pembakaran bahan bakar fosil bagi pemenuhan kebutuhan energi tentu mempunyai manfaat yang besar, paling tidak sebagai langkah penghematan cadangan sumber daya alam yang ada untuk dipergunakan oleh anak cucu kita nanti.
Pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batubara secara besar-besaran, dilakukan orang untuk keperluan pembangkit tenaga listrik, industrialisasi, dan transportasi. Khusus untuk bahan bakar pembangkit tenaga listrik, sebenarnya penggunaan bahan bakar fosil sudah bisa ditekan sekecil mungkin, karena ada teknologi modern yang menggunakan bahan bakar lain non fosil yang lebih irit produktif, aman dan tidak menimbulkan polusi. Disamping itu pun bahan bakar fosil seperti bahan bakar minyak harganya cenderung terus meningkat, persediaannya juga sangat terbatas. Orang tidak mungkin harus ketergantungan terus menerus kepada bahan bakar minyak, karena suatu saat cadangannya akan habis. Oleh karena itu bagi Indonesia kini saatnya kita memanfaatkan bahan bakar non fosil untuk berbagai keperluan seperti untuk pembangkit listrik. Dengan demikian selain turut melakukan upaya pelestarian lingkungan hidup secara global, juga sebagai langkah penghematan cadangan sumber daya alam yang sudah semakin menipis di negeri ini. 

lapisan ozon dan global warming


Setiap tanggal 16 September, masyarakat Bumi memperingati hari ozon, namun penipisan lapisan ozon masih terus berlangsung. Dampak penipisan lapisan ozon antara lain meningkatnya intensitas sinar ultra violet yang mencapai permukaan Bumi dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan, seperti kanker kulit, katarak, dan penurunan daya tahan tubuh, dan bahkan terjadinya mutasi genetik.
Menipisnya lapisan ozon mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan, keterbatasan sumber air bersih, kerusakan rantai makanan di laut, musnahnya ekosistem terumbu karang dan sumber daya laut lainnya, menurunnya hasil produksi pertanian yang dapat mengganggu ketahanan pangan, dan bencana alam lainnya.
Mata rantai dampak penipisan lapisan ozon berikutnya adalah terjadinya pemanasan global (global warming). Gas karbon dioksida (CO2) memiliki kontribusi paling besar sekitar 50 persen, diikuti chloroflourocarbon (CFC) 25 persen, gas methan 10 persen, dan sisanya gas lain terhadap pemanasan global. Munculnya kembali penyakit mendunia seperti malaria dan TBC yang diakibatkan oleh pemanasan global. Nyamuk aedes aigepty sebagai vektor penyakit malaria dapat berpindah dan berkembang biak dari Afrika ke Eropa. Pemanasan global juga menyebabkan mencairnya lapisan es di Benua Antartika. Akibatnya, muka air laut global naik sampai 25 cm di akhir abad ke-20. Sehingga terjadi ketidakseimbangan iklim, dimana di suatu tempat terjadi bencana kekeringan, dan di tempat lainnya terjadi bencana banjir. Kerugian dunia mencapai 300 milyar dollar AS per tahun akibat dampak perubahan iklim dan berkurangnya kemampuan hutan sebagai penjerap karbon (carbon sink) karena 65 juta hektar dari 3.500 juta hektar hutan punah pada periode tahun 1990-1995, sebagaimana diungkapkan di Nairobi, ketika konferensi ke- 21 UNEP oleh United Nation Environment Programme (UNEP), badan PBB untuk program lingkungan. Dalam laporannya, dimana untuk mengatasi efek dari pemanasan global pada 50 tahun mendatang memerlukan dana sekitar 300 milyar dollar AS.
Menurut Klaus Toepfer, Direktur Eksekutif UNEP, mengurangi saja tidak cukup, kita harus bekerja untuk menghapuskan emisi gas rumah kaca. Namun, ancaman bencana ini cenderung diabaikan. Kenyataan menunjukkan, jumlah pencemaran gas rumah kaca dari tahun ke tahun terus meningkat. Salah satu jenis gas rumah kaca, yakni CO2 emisinya terus meningkat dari tahun 1990 sebesar 1,34 milyar ton, dan pada tahun 1997 sebesar 1,47 milyar ton. Sumber utama CO2 dari 30 negara maju saja, yang berpenduduk 20 persen dari penduduk dunia menyumbang dua pertiga emisi salah satu gas rumah kaca tersebut. Sedangkan negara berkembang yang berpenduduk 80 persen dari penduduk dunia hanya menyumbang sepertiga emisi CO2. Dari sektor transportasi di Amerika Serikat saja emisi CO2 lebih besar dari total emisi seluruh dunia di sektor tersebut.
Sepanjang abad ke-20, terjadi 10 kasus tahun terpanas hanya dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Tahun 1998 tercatat sebagai tahun terpanas di abad ke-20, yang berdampak terjadinya kebakaran hutan di Indonesia, Brasil, Australia atau negara lainnya dan kemarau panjang yang memusnahkan panen seperti di Afrika, serta bencana iklim lainnya akibat fenomena El-Nino.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi kenaikan temperatur mencapai 2,5 sampai 10,4o C sampai periode seratus tahun mendatang dan mengindikasikan bahwa akan terjadi kenaikan permukaan air laut setinggi 1 meter pada tahun 2008. Daerah yang rawan terhadap dampak ini terjadi di Asia Selatan, Asia Tenggara, sepanjang pantai selatan Mediterania, pantai barat Afrika, dan terumbu karang di Lautan Indonesia dan Pasifik.
Lapisan ozon berfungsi melindungi Bumi dari sinar ultra violet yang dipancarkan oleh Matahari. Menipisnya lapisan ozon diketahui pada pertengahan tahun 1980-an. Penipisan lapisan ozon disebabkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia sebagai bahan perusak lapisan ozon (ozone depliting substance) dan gas CO2 yang dapat berasal dari hasil proses pembakaran seperti dari kendaraan, pabrik, dan kebakaran hutan.
Bahan perusak lapisan ozon
Bahan-bahan perusak lapisan ozon (BPO) yang dipakai di Indonesia dan penggolongannya berdasarkan Protokol Montreal adalah:
1. Annex A Group I: CFC-11, CFC-12, CFC-113, dan CFC-115. CFC pertama sekali ditemukan tahun 1930-an. Masyarakat dunia bisa menikmatinya sebagai gas freon yang dipakai dalam lemari es, AC, dan aerosol, dalam produksi busa (foam) dan untuk sterilisasi.
2. Annex A Group II: Halon-1211, Halon-1301. Halon digunakan untuk pemadaman kebakaran.
3. Annex B Group II: Carbon Tetra Chloride (CTC). Carbon tetra klorida (CCl4) digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan CFC-11 dan CFC-12, untuk pembuatan beberapa jenis pestisida, sebagai pelarut dalam produksi karet dan zat warna sintetis, sebagai metal dereaser, dry-cleaning agent, pemadam kebakaran, dan juga untuk fumigasi biji-bijian.
4. Annex B Group III: Methylchloroform. Methylchloroform juga dikenal sebagai Trichloroethane digunakan untuk pelarut dan pencucian logam di berbagai industri, untuk dry-cleaning, penghilang debu pada industri tekstil, untuk aerosol, pembuatan senyawa fluorokarbon dan bahan kimia lain, untuk industri semi- konduktor, industri baja, industri tinta, dan sebagainya.
5. Annex E: Methyl Bromide .
Dari BPO di atas, yang terbanyak dikonsumsi adalah CFC. Indonesia termasuk dalam katagori negara artikel 5 karena konsumsi CFC dan Halon kurang dari 0,3 kg/kapita/ tahun.
Kebijakan dalam Perlindungan Lapisan Ozon Pada tahun 1981, melalui keputusan UNEP Governing Council yang merupakan Working Group beranggotakan wakil dari berbagai negara, telah menyusun konsep "Konvensi untuk Perlindungan Lapisan Ozon". Dan, pada tahun 1985, dokumen ini yang dikenal sebagai Konvensi Wina tentang Perlindungan Ozon telah diadopsi oleh negara-negara Uni Eropa dan 21 negara lainnya. Protokol Montreal yang berisi tentang Bahan Perusak Lapisan Ozon (Ozone Depleting Substances) ditetapkan pada tanggal 16 September 1987 dan berlaku sejak Januari 1989. Tanggal tersebut dijadikan dasar dalam memperingati hari ozon sedunia. Disetujuinya Amandemen Copenhagen pada tahun 1992 yang menetapkan penghentian produksi CFC di negara maju pada tahun 1996 dan di negara berkembang pada tahun 2010. Belanda, Jerman, dan Denmark yang memutuskan menghapus penggunaan bahan perusak ozon pada tahun 1994. Amerika melakukannya pada tahun 1996.
Pada tahun 1992, Indonesia meratifikasi Protokol Montreal dan Konvensi Wina melalui Keppres Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pengesahan Konvensi Wina dan Protokol Montreal. Pada tanggal 1 Agustus 1994, lahir UU No 6 Tahun 1994 mengenai Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Kemudian PP No 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Indonesia menargetkan penghapusan bahan perusak ozon pada tahun 2007.
Pada bulan Desember 1997 di Kyoto, Jepang disepakati Protokol Kyoto yang berisikan bahwa negara-negara industri harus mengurangi emisi-emisi dari 6 gas rumah kaca dengan rata-rata lebih dari 5,2 persen selama 2008-2012. Uni Eropa dan Australia berkomitmen mengurangi CO2 sebesar 8 persen, Iceland sebesar 10 persen, dan Amerika Serikat sebesar 7 persen. Hasil penelitian para ahli lingkungan dan meteorologi AS menemukan bahwa akan terjadi bencana efek rumah kaca yang diakibatkan oleh peningkatan CO2. Namun, Amerika Serikat membatalkan kesepakatannya mengenai protokol tersebut melalui surat tertanggal 12 Maret 2001, dengan alasan mengganggap CO2 bukan salah satu zat pencemar (emiten) dan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi AS.
Perlindungan lapisan ozon
Tindakan nyata dalam perlindungan ozon harus dimulai dari diri sendiri, dengan mengonsumsi bensin nontimbal, seperti Super TT atau bahan bakar beroktan tinggi, seperti premix pada kendaraan. Penggunaan pengubah katalis (catalitic converter) di knalpot kendaraan berguna untuk mengurangi kadar CO, HC, dan NOx kendaraan. Pemerintah mencanangkan tahun 2003 sebagai batas akhir pemakaian BBM bertimbal. Menurut Adiatma Sardjito, press relations Pertamina, premium nontimbal sudah bisa dinikmati warga Jabotabek mulai Juli 2001, seluruh Jawa tahun 2002, dan seluruh Indonesia tahun 2003.
Upaya lain dalam perlindungan lapisan ozon adalah menggantikan BPO dengan alternatif lain yang bersifat tidak beracun, tidak merusak ozon dan ramah lingkungan seperti (CFC) yang diganti dengan HCFC, HFC, atau gabungan keduanya. Untuk beralih dari freon ke hidrokarbon, misalnya AC kendaraan tak perlu diganti dengan yang baru. Dari berbagai pengujian, terbukti pendingin hidrokarbon bisa langsung dipakai (drop-in substitute). Selain itu, pemakaiannya jauh lebih hemat daripada freon CFC. Hutan harus dilestarikan dan diselamatkan dari proses eksploitasi secara rakus karena hutan berfungsi melindungi lapisan ozon dan sebagai penjerap karbon.
Menipisnya ozon dan efek rumah kaca merupakan masalah bersama masyarakat Bumi, bukan hanya masalah negara maju atau negara berkembang karena masing-masing negara berada di Bumi yang sama, yang harus dan wajib dilindungi dan dipelihara secara global. Bumi mungkin tidak akan menderita akibat bencana tersebut, melainkan nasib enam milyar manusia serta makhluk hidup lainnya yang dipertaruhkan.

Sabtu, 02 Mei 2009

kegunaan pektin jeruk bali


Tanaman jeruk terdiri dari berbagai jenis, namun yang terkenal di Indonesia adalah jeruk manis, jeruk keprok, jeruk besar, dan jeruk lemon. Keempat jenis jeruk tersebut biasanya dikonsumsi sebagai buah segar. Rasa masam pada jeruk lemon dan lime dalam racikan yang pas merupakan penyegar alami untuk banyak jenis makan dan minuman.


Kandungan vitamin C jeruk per unit berat sebenarnya tidak terlalu tinggi hanya 50 mg/100g, jika dibandingkan dengan kebanyakan sayuran atau buah-buahan lain yang dikenal sebagai sumber vitamin C seperti jambu biji yang kandungan vitamin C-nya mencapai lebih dari 100 mg/100 g. Namun karena disukai oleh semua tingkatan umur maka jeruk dapat berperan menjadi sumber utama Vitamin C.

Jeruk Bali mempunyai kandungan pektin yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis jeruk lainnya setelah dijuice. Satu porsi jeruk Bali mengandung + 3,9% pektin. Setiap 15 gram pektin jeruk Bali dapat menurunkan 10% tingkat kolesterol, berarti makan jeruk Bali juga dapat menurunkan resiko penyakit jantung.

Jeruk Bali dapat membersihkan sel darah merah yang telah tua di dalam tubuh dan menormalkan tingkat hematokrit yaitu persentase sel darah per volume darah. Tingkat hematokrit normal pada wanita adalah 37-47%, sedangkan pada laki-laki adalah 40-54%. Rendahnya hematokrit akan menyebabkan anemia namun jika sangat tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung karena darah menjadi mengental.